Rabu, 26 Februari 2014

Keynote Speech Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan Bappenas

GIZI BAIK KUNCI KEBERHASILAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

Yang terhormat Ibu Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Yang terhormat Bapak dan Ibu Pejabat dari berbagi Instansi
Hadirin peserta pertemuan yang saya hormati

Assalamulaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salam sejahtera untuk kita semua

Pertama-tama marilah kita ucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan begitu banyak karunia kepada kita terutama kesehatan. Selanjutnya saya mengucapkan terima kasih atas undangan yang diberikan kepada saya dalam forum yang penting ini, dalam rangka  memperingati Hari Gizi Nasional.

Tema Hari Gizi Nasional ini sangat penting dan relevan yaitu Gizi Baik Kunci Keberhasilan Jaminan Kesehatan Nasional, karena baik dari segi substansi maupun waktunya sangat tepat. Dari segi substansi, keduanya merupakan topik yang penting  dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Dari segi waktu, saat ini pemerintah kita dalam proses merumuskan kebijakan, strategi dan program RPJM ketiga 2015-2019 dan dimulainya pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional dalam skala besar diseluruh tanah air.

Dalam kesempatan ini saya akan menyampaikan pentingnya peranan gizi dalam pembangunan bangsa, dan bagaimana peranan pembangunan gizi terhadap peningkatan  kesehatan masyarakat serta kaitannya dengan pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional.

Pembangunan pangan dan gizi mempunyai tujuan untuk meningkatkan status gizi masyarakat serta peran serta masyarakat menjadi lebih baik dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia, meningkatkan produktivitas dan merupakan bagian penting dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Telah banyak hasil penelitian baik di dalam negeri maupun internasional yang memberikan bukti tentang hal ini.  Investasi yang tinggi untuk pembangunan sektor sosial termasuk pendidikan, pelayanan kesehatan dasar, perbaikan gizi masyarakat akan meningkatkan kesehatan fisik, dan kecerdasan serta meningkatkan produktivitas kerja. Dampak dari perbaikan ini akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, meningkatkan pendapatan perkapita yang merupakan bagian penting dari upaya penurunan kemiskinan.

Review yang dilakukan oleh Bank Dunia tahun 2006 membahas secara mendalam masalah gangguan gizi dan bagaimana strategi untuk mengatasinya. Disebutkan bahwa terdapat tiga pertimbangan mendasar mengapa gangguan gizi harus diturunkan, adalah karena intervensi gizi mempunyai tingkat manfaat ekonomi yang tinggi (high economic return), memberi dampak yang tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi (high impact on economic growth), dan menurunkan kemiskinan (poverty reduction).

Keadaan status gizi masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan perbaikan walaupun masih dihadapkan pada berbagai tantangan yang cukup berat. Berbagai indikator  yang mengukur status gizi pada siklus kehidupan  masih belum menggembirakan. Hal ini dibuktikan dengan hasil Riskesdas tahun 2007, 2010,dan 2013, yaitu ditandai dengan tingginya prevalensi anemia pada remaja dan ibu hamil, tingginya prevalensi gizi kurang dan gizi buruk pada anak balita, tingginya prevalensi anak pendek dan sangat pendek (stunting) pada anak balita, meningkatnya kecenderungan gizi lebih pada berbagai kelompok umur, tinggiya bayi yang terlahir dengan berat badan rendah (BBLR), dan rendahnya pengetahuan dan sikap perilaku gizi seimbang pada berbagai kelompok umur.   

Di lain pihak masih cukup besar kelompok masyarakat miskin yang mengkonsumsi energi sangat rendah yaitu di bawah 1.400 kilo kalori perkapita per hari, yang merupakan indikator rawan pangan.

Untuk meningkatkan status gizi masyarakat, bukan hanya merupakan tugas dari sektor kesehatan, tetapi juga menyangkut berbagai sektor karena masalah gizi berkaitan dengan produksi, distribusi, konsumsi dan keamanan pangan. Arah kebijakan penanganan gizi secara lintas sektor telah dirumuskan dalam rencana pembangunan jangka panjang nasional tahun 2005 – 2025. Kebijakan lainnya telah dirumuskan dalam Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 maupun Undang-Undang Pangan No. 18 Tahun 2012.

Salah satu masalah gizi yang memprihatinkan di negara kita adalah tingginya prevalensi balita yang menderita pendek atau sangat pendek (stunting) dibandingkan dengan standar normal tinggi badan dari WHO. Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan besarnya prevalensi stunting sekitar 37% dengan disparitas yang cukup besar antar provinsi. Bahkan di provinsi tertentu angka tersebut mencapai sekitar 50%.

Dampak dari tingginya prevalensi anak balita yang stunting adalah terganggunya pertumbuhan fisik dan kognitif, terganggunya produktivitas di masa depan, dan meningkatkan resiko terjadinya penyakit tidak menular, antara lain diabetes melitus dan penyakit jantung koroner. Fenomena ini telah dikaji oleh Prof. Barker seorang ahli gizi dari Inggris, maka sering juga disebut dengan Fenomena Barker.

Saat ini keprihatinan dunia dan Indonesia terhadap tingginya prevalensi anak yang menderita stunting dirumuskan dalam kebijakan scaling up nutrition (SUN) yang diprakarsai oleh PBB, dan saat ini sudah sekitar 40 negara ikut dalam gerakan SUN tersebut. Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut dalam gerakan SUN sejak tahun 2011. Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Perpres No. 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dengan fokus terhadap usia 1000 hari pertama kehidupan, yaitu dimulainya sejak masa kehamilan sampai anak berusia 2 tahun.

1000 hari pertama kehidupan merupakan periode yang sangat kritis dalam upaya perbaikan gizi, jika kita gagal memperbaiki keadaan gizi pada usia tersebut maka dampaknya tidak akan bisa diperbaiki dalam kehidupan berikutnya. Untuk memperbaiki keadaan gizi pada 1000 hari pertama kehidupan, fokus perbaikan gizi diarahkan pada kesiapan remaja pra nikah, ibu hamil, dan anak sampai usia 2 tahun.

Berbagai intervensi gizi yang cost-effective telah dirumuskan dalam seri majalah ilmiah Lancet, yang terdiri dari paket kegiatan intervensi gizi pada masa ibu hamil, bayi, dan anak sampai usia 2 tahun. Yang disebut dengan intervensi gizi spesifik, antara lain meliputi pemberian tablet besi dan asam folat untuk ibu hamil, pemberian makanan tambahan pada ibu hamil, pemberian ASI eksklusif pada bayi, pemberian makanan tambahan pada anak usia di atas 6 bulan, penggunaan garam beryodium, dan konseling gizi. Pelaksanaan intervensi gizi spesifik ini yang lebih banyak dikoordinasikan dan dilaksanakan oleh sektor kesehatan.

Intervensi lain yang mempengaruhi, yang berada di luar sektor kesehatan adalah peningkatan akses terhadap air minum dan sanitasi layak, pelayanan KB, berbagai skema perlindungan sosial, serta penanggulangan kemiskinan. Intervensi ini disebut dengan intervensi gizi sensitif. Dalam upaya memperbaiki keadaan gizi masyarakat, intervensi gizi spesifik harus berjalan secara simultan dan terkoordinasi dengan intervensi gizi sensitif.

Prinsip-prinsip penggabungan upaya kedua intervensi tersebut telah dirumuskan dalam Perpres Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi yang secara khusus telah diluncurkan oleh Presiden Republik Indonesia pada peringatan Hari Pangan Sedunia tahun 2013 di Padang, Sumatera Barat. Saat ini kerangka kebijakan dan pedoman perencanaan penganggaran untuk mengimplementasikan Perpres tersebut telah dirumuskan.

Langkah berikutnya adalah menjabarkan kebijakan tersebut ke dalam tataran perencanaan rinci, implementasi, dan monitoring serta evaluasinya. Saat ini sedang direncanakan implementasi secara nyata untuk memperbaiki masalah stunting di 11 provinsi meliputi 64 kabupaten dan sekitar 7.000 desa. Di lokasi tersebut secara nyata akan dilaksanakan intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Dengan demikian Indonesia akan memiliki pengalaman berharga dalam upaya mengatasi masalah stunting yang merupakan masalah gizi prioritas untuk diatasi.

Keterlibatan pemerintah daerah dimulai dari gubernur, bupati, sampai ke tingkat desa sangat menentukan keberhasilan program ini, karena intervensi program ini akan dilaksanakan melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).

Selanjutnya saya akan menyampaikan mengenai keterkaitan upaya perbaikan gizi dengan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Pada tahun ini pemerintah telah mulai melaksanakan program Jaminan Kesehatan Nasional yang tujuannya untuk meningkatkan perlindungan kesehatan masyarakat terutama kelompok miskin, melalui pemberian jaminan pembiayaan kesehatan untuk menghadapi resiko finansial. Sampai saat ini data dari BPJS menunjukkan sudah sekitar 117 juta orang terdaftar sebagai peserta JKN. Kepada peserta tersebut diberikan paket pelayanan kesehatan di berbagai sarana pelayanan kesehatan, baik pelayanan primer, sekunder, maupun tersier.

Program ini memerlukan perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring serta evaluasi yang baik agar sasaran program dapat tercapai dengan baik, dan terjamin sustainabilitasnya.

Harus diakui bahwa pelayanan kesehatan yang dilaksanakan melalui JKN lebih banyak pelayanan yang bersifat kuratif dan rehabilitatif, oleh sebab itu diperlukan upaya yang lebih kuat untuk melaksanakan kegiatan pelayanan kesehatan preventif dan promotif, terutama pada tingkat pelayanan kesehatan primer. Jika upaya kesehatan primer berhasil dengan baik, maka masyarakat dapat dicegah untuk mengalami gangguan kesehatan, sehingga akan meringankan beban pelayanan kesehatan kuratif dan rehabilitatif seperti yang dijamin melalui JKN. Upaya kesehatan preventif dan promotif tersebut antara lain meliputi pelaksanaan program gizi, kesehatan ibu dan anak, promosi kesehatan, akses terhadap air bersih dan sanitasi, serta menjamin perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).

Khusus dalam hal gizi, peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku gizi seimbang pada seluruh kelompok umur yang saat ini pedomannya telah dirumuskan (pedoman gizi seimbang), akan membantu keberhasilan program JKN. Dengan menerapkan pedoman gizi seimbang ini, masyarakat akan meningkat status gizinya serta tercegah dari berbagai resiko penyakit tidak menular, yang pada akhirnya akan  mengurangi beban biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi penyakit tersebut.

Indonesia sudah memiliki pengalaman sejak tahun 70-an untuk mengimplementasikan pedoman umum gizi seimbang, tetapi harus diakui hasilnya belum menggembirakan. Hal-hal yang mempengaruhi terlaksananya pedoman gizi seimbang dengan baik adalah kemudahan pesan tersebut dimengerti oleh masyarakat, terdapatnya berbagai pedoman teknis untuk berbagai kelompok umur, kemampuan petugas untuk mengkomunikasikan pedoman, berbagai media yang digunakan, menghargai kearifan lokal, dan aspek hukum yang cukup kuat, serta kerjasama lintas sektor yang sinergis.

Dari uraian yang telah saya sampaikan, dapat disimpulkan bahwa peningkatan status gizi masyarakat merupakan salah satu kunci keberhasilan pelaksanaan program JKN di Indonesia.

Demikian yang dapat saya sampaikan, terima kasih atas perhatian Bapak/Ibu sekalian.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Deputi Menteri PPN/Kepala Bappenas
Bidang SDM dan Kebudayaan,



Dra. Nina Sardjunani, MA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar