GIZI
BAIK KUNCI KEBERHASILAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
Yang terhormat Ibu Menteri
Kesehatan Republik Indonesia
Yang terhormat Bapak dan Ibu
Pejabat dari berbagi Instansi
Hadirin peserta pertemuan
yang saya hormati
Assalamulaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh
Salam sejahtera untuk kita
semua
Pertama-tama marilah kita
ucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan begitu
banyak karunia kepada kita terutama kesehatan. Selanjutnya saya mengucapkan
terima kasih atas undangan yang diberikan kepada saya dalam forum yang penting
ini, dalam rangka memperingati Hari Gizi
Nasional.
Tema Hari Gizi Nasional ini
sangat penting dan relevan yaitu Gizi Baik Kunci Keberhasilan Jaminan Kesehatan
Nasional, karena baik dari segi substansi maupun waktunya sangat tepat. Dari
segi substansi, keduanya merupakan topik yang penting dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat Indonesia. Dari segi waktu, saat ini pemerintah kita dalam proses
merumuskan kebijakan, strategi dan program RPJM ketiga 2015-2019 dan dimulainya
pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional dalam skala besar diseluruh
tanah air.
Dalam kesempatan ini saya
akan menyampaikan pentingnya peranan gizi dalam pembangunan bangsa, dan
bagaimana peranan pembangunan gizi terhadap peningkatan kesehatan masyarakat serta kaitannya dengan
pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional.
Pembangunan pangan dan gizi
mempunyai tujuan untuk meningkatkan status gizi masyarakat serta peran serta
masyarakat menjadi lebih baik dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya
manusia, meningkatkan produktivitas dan merupakan bagian penting dalam upaya
penanggulangan kemiskinan. Telah banyak hasil penelitian baik di dalam negeri
maupun internasional yang memberikan bukti tentang hal ini. Investasi yang tinggi untuk pembangunan sektor
sosial termasuk pendidikan, pelayanan kesehatan dasar, perbaikan gizi
masyarakat akan meningkatkan kesehatan fisik, dan kecerdasan serta meningkatkan
produktivitas kerja. Dampak dari perbaikan ini akan meningkatkan kualitas
sumber daya manusia, meningkatkan pendapatan perkapita yang merupakan bagian
penting dari upaya penurunan kemiskinan.
Review yang dilakukan oleh
Bank Dunia tahun 2006 membahas secara mendalam masalah gangguan gizi dan
bagaimana strategi untuk mengatasinya. Disebutkan bahwa terdapat tiga
pertimbangan mendasar mengapa gangguan gizi harus diturunkan, adalah karena
intervensi gizi mempunyai tingkat manfaat ekonomi yang tinggi (high economic return), memberi dampak
yang tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi (high
impact on economic growth), dan menurunkan kemiskinan (poverty reduction).
Keadaan status gizi
masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan perbaikan walaupun masih dihadapkan
pada berbagai tantangan yang cukup berat. Berbagai indikator yang mengukur status gizi pada siklus
kehidupan masih belum menggembirakan. Hal
ini dibuktikan dengan hasil Riskesdas tahun 2007, 2010,dan 2013, yaitu ditandai
dengan tingginya prevalensi anemia pada remaja dan ibu hamil, tingginya
prevalensi gizi kurang dan gizi buruk pada anak balita, tingginya prevalensi anak
pendek dan sangat pendek (stunting)
pada anak balita, meningkatnya kecenderungan gizi lebih pada berbagai kelompok
umur, tinggiya bayi yang terlahir dengan berat badan rendah (BBLR), dan
rendahnya pengetahuan dan sikap perilaku gizi seimbang pada berbagai kelompok
umur.
Di lain pihak masih cukup
besar kelompok masyarakat miskin yang mengkonsumsi energi sangat rendah yaitu
di bawah 1.400 kilo kalori perkapita per hari, yang merupakan indikator rawan
pangan.
Untuk meningkatkan status
gizi masyarakat, bukan hanya merupakan tugas dari sektor kesehatan, tetapi juga
menyangkut berbagai sektor karena masalah gizi berkaitan dengan produksi,
distribusi, konsumsi dan keamanan pangan. Arah kebijakan penanganan gizi secara
lintas sektor telah dirumuskan dalam rencana pembangunan jangka panjang nasional
tahun 2005 – 2025. Kebijakan lainnya telah dirumuskan dalam Undang-Undang
Kesehatan No. 36 tahun 2009 maupun Undang-Undang Pangan No. 18 Tahun 2012.
Salah satu masalah gizi yang
memprihatinkan di negara kita adalah tingginya prevalensi balita yang menderita
pendek atau sangat pendek (stunting) dibandingkan
dengan standar normal tinggi badan dari WHO. Hasil Riskesdas tahun 2013
menunjukkan besarnya prevalensi stunting
sekitar 37% dengan disparitas yang cukup besar antar provinsi. Bahkan di
provinsi tertentu angka tersebut mencapai sekitar 50%.
Dampak dari tingginya
prevalensi anak balita yang stunting
adalah terganggunya pertumbuhan fisik dan kognitif, terganggunya produktivitas
di masa depan, dan meningkatkan resiko terjadinya penyakit tidak menular, antara
lain diabetes melitus dan penyakit jantung koroner. Fenomena ini telah dikaji
oleh Prof. Barker seorang ahli gizi dari Inggris, maka sering juga disebut
dengan Fenomena Barker.
Saat ini keprihatinan dunia
dan Indonesia terhadap tingginya prevalensi anak yang menderita stunting dirumuskan dalam kebijakan scaling up nutrition (SUN) yang
diprakarsai oleh PBB, dan saat ini sudah sekitar 40 negara ikut dalam gerakan
SUN tersebut. Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut dalam gerakan SUN
sejak tahun 2011. Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Perpres No. 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan
Perbaikan Gizi dengan fokus terhadap usia 1000 hari pertama kehidupan, yaitu
dimulainya sejak masa kehamilan sampai anak berusia 2 tahun.
1000 hari pertama kehidupan
merupakan periode yang sangat kritis dalam upaya perbaikan gizi, jika kita gagal
memperbaiki keadaan gizi pada usia tersebut maka dampaknya tidak akan bisa
diperbaiki dalam kehidupan berikutnya. Untuk memperbaiki keadaan gizi pada 1000
hari pertama kehidupan, fokus perbaikan gizi diarahkan pada kesiapan remaja pra
nikah, ibu hamil, dan anak sampai usia 2 tahun.
Berbagai intervensi gizi
yang cost-effective telah dirumuskan
dalam seri majalah ilmiah Lancet, yang terdiri dari paket kegiatan intervensi
gizi pada masa ibu hamil, bayi, dan anak sampai usia 2 tahun. Yang disebut
dengan intervensi gizi spesifik, antara lain meliputi pemberian tablet besi dan
asam folat untuk ibu hamil, pemberian makanan tambahan pada ibu hamil,
pemberian ASI eksklusif pada bayi, pemberian makanan tambahan pada anak usia di
atas 6 bulan, penggunaan garam beryodium, dan konseling gizi. Pelaksanaan intervensi
gizi spesifik ini yang lebih banyak dikoordinasikan dan dilaksanakan oleh
sektor kesehatan.
Intervensi lain yang
mempengaruhi, yang berada di luar sektor kesehatan adalah peningkatan akses
terhadap air minum dan sanitasi layak, pelayanan KB, berbagai skema
perlindungan sosial, serta penanggulangan kemiskinan. Intervensi ini disebut
dengan intervensi gizi sensitif. Dalam upaya memperbaiki keadaan gizi
masyarakat, intervensi gizi spesifik harus berjalan secara simultan dan
terkoordinasi dengan intervensi gizi sensitif.
Prinsip-prinsip penggabungan
upaya kedua intervensi tersebut telah dirumuskan dalam Perpres Gerakan Nasional
Percepatan Perbaikan Gizi yang secara khusus telah diluncurkan oleh Presiden
Republik Indonesia pada peringatan Hari Pangan Sedunia tahun 2013 di Padang,
Sumatera Barat. Saat ini kerangka kebijakan dan pedoman perencanaan penganggaran
untuk mengimplementasikan Perpres tersebut telah dirumuskan.
Langkah berikutnya adalah
menjabarkan kebijakan tersebut ke dalam tataran perencanaan rinci,
implementasi, dan monitoring serta evaluasinya. Saat ini sedang direncanakan
implementasi secara nyata untuk memperbaiki masalah stunting di 11 provinsi meliputi 64 kabupaten dan sekitar 7.000
desa. Di lokasi tersebut secara nyata akan dilaksanakan intervensi gizi
spesifik dan intervensi gizi sensitif. Dengan demikian Indonesia akan memiliki
pengalaman berharga dalam upaya mengatasi masalah stunting yang merupakan masalah gizi prioritas untuk diatasi.
Keterlibatan pemerintah
daerah dimulai dari gubernur, bupati, sampai ke tingkat desa sangat menentukan
keberhasilan program ini, karena intervensi program ini akan dilaksanakan
melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).
Selanjutnya saya akan
menyampaikan mengenai keterkaitan upaya perbaikan gizi dengan program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN).
Pada tahun ini pemerintah telah
mulai melaksanakan program Jaminan Kesehatan Nasional yang tujuannya untuk
meningkatkan perlindungan kesehatan masyarakat terutama kelompok miskin,
melalui pemberian jaminan pembiayaan kesehatan untuk menghadapi resiko finansial.
Sampai saat ini data dari BPJS menunjukkan sudah sekitar 117 juta orang
terdaftar sebagai peserta JKN. Kepada peserta tersebut diberikan paket
pelayanan kesehatan di berbagai sarana pelayanan kesehatan, baik pelayanan
primer, sekunder, maupun tersier.
Program ini memerlukan perencanaan,
pelaksanaan, dan monitoring serta evaluasi yang baik agar sasaran program dapat
tercapai dengan baik, dan terjamin sustainabilitasnya.
Harus diakui bahwa pelayanan
kesehatan yang dilaksanakan melalui JKN lebih banyak pelayanan yang bersifat
kuratif dan rehabilitatif, oleh sebab itu diperlukan upaya yang lebih kuat
untuk melaksanakan kegiatan pelayanan kesehatan preventif dan promotif,
terutama pada tingkat pelayanan kesehatan primer. Jika upaya kesehatan primer
berhasil dengan baik, maka masyarakat dapat dicegah untuk mengalami gangguan
kesehatan, sehingga akan meringankan beban pelayanan kesehatan kuratif dan
rehabilitatif seperti yang dijamin melalui JKN. Upaya kesehatan preventif dan
promotif tersebut antara lain meliputi pelaksanaan program gizi, kesehatan ibu
dan anak, promosi kesehatan, akses terhadap air bersih dan sanitasi, serta menjamin
perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
Khusus dalam hal gizi,
peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku gizi seimbang pada seluruh kelompok
umur yang saat ini pedomannya telah dirumuskan (pedoman gizi seimbang), akan
membantu keberhasilan program JKN. Dengan menerapkan pedoman gizi seimbang ini,
masyarakat akan meningkat status gizinya serta tercegah dari berbagai resiko
penyakit tidak menular, yang pada akhirnya akan
mengurangi beban biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi penyakit
tersebut.
Indonesia sudah memiliki
pengalaman sejak tahun 70-an untuk mengimplementasikan pedoman umum gizi
seimbang, tetapi harus diakui hasilnya belum menggembirakan. Hal-hal yang
mempengaruhi terlaksananya pedoman gizi seimbang dengan baik adalah kemudahan
pesan tersebut dimengerti oleh masyarakat, terdapatnya berbagai pedoman teknis
untuk berbagai kelompok umur, kemampuan petugas untuk mengkomunikasikan pedoman,
berbagai media yang digunakan, menghargai kearifan lokal, dan aspek hukum yang
cukup kuat, serta kerjasama lintas sektor yang sinergis.
Dari uraian yang telah saya
sampaikan, dapat disimpulkan bahwa peningkatan status gizi masyarakat merupakan
salah satu kunci keberhasilan pelaksanaan program JKN di Indonesia.
Demikian yang dapat saya
sampaikan, terima kasih atas perhatian Bapak/Ibu sekalian.
Wassalamualaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh.
Deputi Menteri PPN/Kepala
Bappenas
Bidang SDM dan Kebudayaan,
Dra. Nina Sardjunani, MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar